GAMBAR RENCANA PEMBANGUNAN MADRASAH DINIYAH AL-HASYIM BAGI ANDA YANG INGIN MEMBERIKAN SUMBANGAN, INFAQ, SHODAQOH MOHON DIBERIKAN LANGSUNG KEPADA PANITIA PEMBANGUNAN / KIRIM LANGSUNG KEREKENING MADRASAH :736301004060530 An. Madrasah Diniyah Al-Hasyim Desa Pelem Kecamatan purwosari Kabupaten Bojonegoro
MADRASAH DINIYAH AL-HASYIM
Menuju Ummat Rohmatan Lil Alamin
Minggu, 02 Februari 2014
SEJARAH MADRASAH DINIYAH
SEJARAH MADRASAH DINIYAH
Sejarah Islam di Indonesia
memperlihatkan bahwa pendidikan keagamaan di sini tumbuh dan berkembang
seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat Muslim. Selama kurun waktu
yang panjang, pendidikan keagamaan Islam berjalan secara tradisi, berupa
pengajian al-Qur’an dan pengajian kitab, dengan metode yang dikenalkan
(terutama di Jawa) dengan nama sorogan, bandongan dan halaqah. Tempat
belajar yang digunakan umumnya adalah ruang-ruang masjid atau
tempat-tempat shalat “umum” yang dalam istilah setempat disebut: surau,
dayah, meunasah, langgar, rangkang, atau mungkin nama lainnya.
Perubahan kelembagaan paling
penting terjadi setelah berkembangnya sistem klasikal, yang awalnya
diperkenalkan oleh pemerintah kolonial melalui sekolah-sekolah umum yang
didirikannya di berbagai wilayah Nusantara. Di Sumatera Barat
pendidikan keagamaan klasikal itu dilaporkan dipelopori oleh Zainuddin
Labai el-Junusi (1890-1924), yang pada tahun 1915 mendirikan sekolah
agama sore yang diberi nama “Madrasah Diniyah” (Diniyah School,
al-Madrasah al-Diniyah) (Noer 1991:49; Steenbrink 1986:44). Sistem
klasikal seperti rintisan Zainuddin berkembang pula di wilayah Nusantara
lainnya, terutama yang mayoritas penduduknya Muslim. Di kemudian hari
lembaga-lembaga pendidikan keagamaan itulah yang menjadi cikal bakal
dari madrasah-madrasah formal yang berada pada jalur sekolah sekarang.
Meskipun sulit untuk memastikan kapan madrasah didirikan dan madrasah
mana yang pertama kali berdiri, namun Departemen Agama (dahulu
Kementerian Agama) mengakui bahwa setelah Indonesia merdeka sebagian
besar sekolah agama berpola madrasah diniyahlah yang berkembang menjadi
mad-rasah-madrasah formal (Asrohah 1999:193). Dengan perubahan tersebut
berubah pula status kelembagaannya, dari jalur “luar sekolah” yang
dikelola penuh oleh masyarakat menjadi “sekolah” di bawah pembinaan
Departemen Agama.
Meskipun demikian tercatat masih
banyak pula madrasah diniyah yang mempertahankan ciri khasnya yang
semula, meskipun dengan status sebagai pendidikan keagamaan luar
sekolah. Pada masa yang lebih kemudian, mengacu pada Peraturan Menteri
Agama Nomor 13 Tahun 1964, tumbuh pula madrasah-madrasah diniyah tipe
baru, sebagai pendidikan tambahan berjenjang bagi murid-murid sekolah
umum. Madrasah diniyah itu diatur mengikuti tingkat-tingkat pendi-dikan
sekolah umum, yaitu Madrasah Diniyah Awwaliyah untuk murid Sekolah
Dasar, Wustha untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan ‘Ulya
untuk murid Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Madrasah diniyah dalam hal
itu dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan klasikal jalur luar
sekolah bagi murid-murid sekolah umum. Data EMIS (yang harus
diperlakukan sebagai data sementara karena ketepatan-nya dapat
dipersoalkan) mencatat jumlah madrasah diniyah di Indonesia pada tahun
ajaran 2005/2006 seluruhnya 15.579 buah dengan jumlah murid 1.750.010
orang.
Berdasarkan Undang-undang
Pendidikan dan Peraturan Pemerintah. Madrasah Diniyah adalah bagian
terpadu dari pendidikan nasional untuk memenuhi hasrat masyarakat
tentang pendidikan agama. Madrasah Diniyah termasuk ke dalam pendidikan
yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik dalam
penguasaan terhadap pengetahuan agama Islam.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP
No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi
babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia.
Karena itu berarti negara telah menyadari keanekaragaman model dan
bentuk pendidikan yang ada di bumi nusantara ini.
Keberadaan peraturan perundangan
tersebut seolah menjadi ”tongkat penopang” bagi madrasah diniyah yang
sedang mengalami krisis identitas. Karena selama ini, penyelenggaraan
pendidikan diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola
pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan
ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya.
Secara umum, setidaknya sudah
ada beberapa karakteristik pendidikan diniyah di bumi nusantara ini.
Pertama, Pendidikan Diniyah Takmiliyah (suplemen) yang berada di tengah
masyarakat dan tidak berada dalam lingkaran pengaruh pondok pesantren.
Pendidikan diniyah jenis ini betul-betul merupakan kreasi dan swadaya
masyarakat, yang diperuntukkan bagi anak-anak yang menginginkan
pengetahuan agama di luar jalur sekolah formal. Kedua, pendidikan
diniyah yang berada dalam lingkaran pondok pesantren tertentu, dan
bahkan menjadi urat nadi kegiatan pondok pesantren. Ketiga, pendidikan
keagamaan yang diselenggarakan sebagai pelengkap (komplemen) pada
pendidikan formal di pagi hari. Keempat, pendidikan diniyah yang
diselenggarakan di luar pondok pesantren tapi diselenggarakan secara
formal di pagi hari, sebagaimana layaknya sekolah formal.
Ciri-ciri Madrasah Diniyah
Dengan meninjau secara
pertumbuhan dan banyaknya aktifitas yang diselenggarakan sub-sistem
Madrasah Diniyah, maka dapat dikatakan ciri-ciri ekstrakurikuler
Madrasah Diniyah adalah sebagai berikut:
1. Madrasah Diniyah merupakan pelengkap dari pendidikan formal.
2.
Madrasah Diniyah merupakan spesifikasi sesuai dengan kebutuhan dan
tidak memerlukan syarat yang ketat serta dapat diselenggarakan dimana
saja.
3. Madrasah Diniyah tidak dibagi atas jenjang atau kelas-kelas secara ketat.
4. Madrasah Diniyah dalam materinya bersifat praktis dan khusus.
5. Madrasah Diniyah waktunya relatif singkat, dan warga didiknya tidak harus sama.
6. Madrasah Diniyah mempunyai metode pengajaran yang bermacammacam.
Kurikulum yang digunakan Madrasah Diniyah
Berdasarkan Undang-undang
Pendidikan dna Peraturan pemerintah no 73 tahun 1991 pada pasal 1 ayat 1
disebutkan “Penyelenggaraan pendidikan diluar sekolah boleh
dilembagakan dan boleh tidak dilembagakan”. Dengan jenis “pendidikan
Umum” (psl 3. ayat.1). sedangkan kurikulum dapat tertulis dan tertulis
(pasl. 12 ayat 2). Bahwa Madrasah DIniyah adalah bagian terpadu dari
system pendidikan nasional yang diselenggarakan pada jalur pendidikan
luar sekolah untuk memenuhi hasrat masyarakat tentang pendidikan agama.
Madarsah Diniyah termasuk kelompok pendidikan keagamaan jalur luar
sekolah yang dilembagakan dan bertujuan untuk mempersiapkan peserta
didik menguasai pengetahuan agama Islam, yang dibina oleh Menteri Agama
(PP 73, Pasal 22 ayat 3). Oleh karena itu, maka Menteri Agama d/h
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam menetapkan
Kurikulum Madrasah Diniyah dalam rangka membantu masyarakat mencapai
tujuan pendidikan yang terarah, sistematis dan terstruktur. Meskipun
demikian, masyarakat tetap memiliki keleluasaan unutk mengembangkan isi
pendidikan, pendekatan dan muatan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan
leingkungan madrasah.
Madrasah diniyah mempunyai tiga
tingkatan yakni : Diniyah Awaliyah, Diniyah Wustha dan Diniyah Ulya.
Madrasah DIniah Awaliyah berlangsung 4 tahun (4 tingkatan), dan Wustha 2
tahun (2 tingkatan). Input Siswa Madrasah Diniyah Awaliyah diasumsikan
adalah siswa yang belakar pada sekolah Dasar dan SMP/SMU.
Sebagai bagian dari pendidikan luar sekolah, Madrasah Diniyah bertujuan :
- Melayani warga belajar dapat tumbuh dan berkembangn sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupanya.
- Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperluakan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ketingkat dan /atau jenjang yang lebih tinggi, dan
- Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah (TP 73 Pasal.2 ayat 2 s.d 3).
Untuk menumbuh kembangkan ciri
madrasah sebagai satuan pendidikan yang bernapaskan Islam, amka tujuan
madrasah diniyah dilengkapi dengan “memberikan bekla kemampuan dasar dan
keterampilan dibidang agama Islam untuk mengembangkan kehidupannya
sebagai pribadi muslim, anggota masyarakat dan warga Negara”. Dalam
program pengajaran ada bebarapa bidang studi yang diajarkan seperti
Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Bahasa
Arab, dan Praktek Ibadah.
Dalam pelajaran Qur’an-Hadits
santri diarahkan kepada pemahaman dan penghayatan santri tentang isi
yang terkandung dalam qur’an dan hadits. Mata pelajaran aqidah akhlak
berfumgsi untuk memberikan pengetahuan dan bimbingan kepada santri agar
meneladani kepribadian nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul dan hamba Allah,
meyakini dan menjadikan Rukun Iman sebagai pedoman berhubungan dengan
Tuhannya, sesame manusia dengan alam sekitar, Mata pelajaran Fiqih
diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina santri
untuk mengetahui memahami dan menghayati syariat Islam. Sejarah
Kebudayaan Islam merupakan mata pelajaran yang diharapkan dapat
memperkaya pengalaman santri dengan keteladanan dari Nabi Muhammad SAW
dan sahabat dan tokoh Islam. Bahasa Arab sangat penting untuk penunjang
pemahaman santri terhadap ajaran agama Islam, mengembangkan ilmu
pengetahuan Islam dan hubungan antar bangsa degan pendekatan
komunikatif. Dan praktek ibadah bertujuan melaksanakan ibadah dan
syariat agama Islam.
Kurikulum Madrasah Diniyah pada
dasarnya bersifat fleksibel dan akomodatif. Oleh karena itu,
pengembangannya dapat dilakukan oleh Departemen Agama Pusat Kantor
Wilayat/Depag Propinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya
atau oleh pengelola kegiatan pendidikan sendiri. Prinsip pokok untuk
mengembangkan tersebut ialah tidak menyalahi aturan perundang-undangan
yang berlaku tentang pendidikan secara umum, peraturan pemerintah,
keputusan Menteri Agama dan kebijakan lainnya yang berkaitan dengan
penyelenggaraan madrasah diniyah.
Langganan:
Postingan (Atom)